Tak seorang pun di antara kita mau mengurangi kenikmatan hidup yang telanjur kita reguk. Hidup tanpa AC atau harus
meningkatkan setelan suhu dari 23º C menjadi 25º C. ”Untuk apa? Yang lain kan tetap memasang 23º C. Enggak ada
gunanya….” Alasan demi alasan selalu ada.
Kebanyakan kita pun sulit mengubah gaya hidup. Biasa memakai baju impor, tak peduli jejak karbonnya tinggi karena
harus diimpor dari luar negeri. Gak pede kalau berbaju buatan dalam negeri. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Mengurangi kenyamanan sejalan dengan mengurangi aktivitas produksi. Keduanya bertujuan mengurangi emisi karbon—
salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Dalam satu abad terakhir suhu bumi telah meningkat rata-rata 1º C. Tahun 1997 di Kyoto, Jepang, diadopsi Protokol Kyoto
dalam lingkup Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang memuat kewajiban 37 negara maju
untuk menekan emisi hingga 5 persen di bawah level emisi tahun 1990.
Pertemuan demi pertemuan mengenai perubahan iklim di bawah payung UNFCCC selalu menjadi ajang adu argumen
antara negara maju dan negara berkembang. Sementara berbagai program adaptasi dan mitigasi terus dijalankan
dengan tertatih. Upaya mitigasi kebanyakan dilakukan secara individual dan korporasi.
Awal tahun ini perusahaan konsultasi McKinsey di Eropa berdasarkan hasil kajian mereka menyatakan, ongkos bagi
upaya dunia untuk menurunkan 2º C suhu bumi akan membutuhkan sekitar 350 miliar euro per tahun—setara dengan Rp
4.900 triliun—pada tahun 2030.
”Dunia akan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 70 persen pada tahun 2030, tapi harus dengan aksi
lintas sektor secara global dan segera,” demikian isi hasil kajian McKinsey (Dow Jones, 26/1). Biaya menjadi kendala.
Sementara itu, keengganan AS di bawah kepemimpinan George W Bush telah memicu kegalauan tersendiri secara global
karena AS dinilai mampu menjadi ”pemimpin” dalam perang melawan pemanasan global. Barulah ketika Barack Obama
mengambil alih posisi Bush, AS berubah haluan. Pekan lalu, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) sedang merancang
peraturan di bawah Clean Air Act, pemerintahan Obama meminta Kongres AS menanggapi isu perubahan iklim melalui ”
pembatasan dan perdagangan” karbon guna mengurangi emisi gas yang berkontribusi pada pemanasan global. Semua
peraturan tersebut akan langsung menjadi isu ekonomi dan sosial.
Langkah Obama memberikan sepercik harapan pada kemungkinan perang kita melawan pemanasan global. Akankah
kembali AS memimpin dunia seperti dulu dilakukannya pada Perang Dunia II? Akankah berhasil? Jawabannya masih kita
tunggu entah sampai kapan.
Perekayasa bumi
Ketika orang tak mau berpayah-payah, dan ketika orang tak mau kehilangan banyak uang, datanglah para ilmuwan
perekayasa bumi (geo-engineer) yang membawa pemikiran ekstrem: ”mengubah iklim dengan peralatan artifisial”
(Newsweek, 27/4).
Pemikiran tersebut muncul berawal dari pengamatan saat terjadi letusan Gunung Pinatubo pada 15 Juni 1991 di Filipina.
Letusan tersebut yang menewaskan ratusan orang telah menyemburkan abu ke atmosfer. Abu tersebut mengandung
banyak gas sulfurdioksida hingga mencapai lapisan stratosfer—lapisan di atas troposfer. Sulfurdioksida tersebut
menyelimuti bumi dan merefleksikan energi panas matahari ke ruang angkasa.
Sejumlah ahli meteorologi mengamati bahwa beberapa tahun kemudian suhu bumi secara global turun rata-rata 0,5º C.
Sementara suhu bumi telah naik 1º C sejak revolusi industri sekitar seabad lalu. Meski demikian, efek letusan Gunung
Pinatubo hanyalah sementara. Beberapa tahun kemudian suhu bumi global kembali merangkak naik.
Berbekal pengamatan tersebut, sejumlah ilmuwan, geo-engineer, mulai memikirkan rekayasa lain yang kemungkinan
bisa diterapkan, bisa dijadikan ”selimut” bumi guna merefleksikan energi panas matahari kembali ke luar angkasa.
Tahun 1990-an, Edward Teller, penemu bom hidrogen yang kontroversial, menggagas dan mengajukan usulan untuk
melontarkan partikel-partikel metal yang dapat mengambang di atmosfer yang berfungsi sebagai pemantul cahaya
matahari.
Geo-engineer lain melakukan pendekatan berbeda. Mereka menawarkan rekayasa carbon capture and storage (CCS),
yaitu menangkap karbon dan menyimpannya di sebuah tempat di dalam tanah. Pendekatan lain adalah mengubah gaya
hidup, seperti ditawarkan melalui pilihan penggunaan bahan bakar nonfosil, seperti meng- gunakan energi matahari,
gelombang, atau angin.
Secara keseluruhan, yang dilakukan para ilmuwan tersebut merupakan manifestasi dari dua pendekatan, yaitu
mendinginkan bumi atau membersihkan udara.
Pendekatan pembersihan melibatkan risiko yang lebih kecil karena tidak melibatkan peralatan serba besar atau
melibatkan gas-gas yang lain. Sementara upaya mendinginkan bumi, misalnya dengan CCS, amat berisiko. Jika
simpanan karbon bocor, dunia akan menderita lebih parah. Setiap tahun diperkirakan 30 triliun metrik ton karbon dilepas
oleh industri dan aktivitas transportasi. Jika diubah menjadi zat cair akan mampu mengisi Danau Geneva.
Saat ini The British Royal Society—tempat berkumpul ilmuwan yang amat bergengsi—telah memulai studi untuk beberapa
pilihan teknologi kebumian. Sedangkan The US National Academies of Science telah menggelar konferensi dan mereka
akan berkumpul lagi Juni mendatang untuk bicara lebih mendetail. Namun, belum ada keputusan politik tentang itu. Upaya
melalui rekayasa atau pendekatan teknologi ini juga didukung oleh peraih penghargaan Nobel, Paul Crutzen dan Thomas
Schelling.
Di luar itu semua, ada pertanyaan mendasar yang terus bergelung. Jika belum mampu memprediksi cuaca secara tepat,
bagaimana kita bisa percaya bahwa para geo-engineer mampu merekayasa iklim? Kita harus kembali ke baris pertama
tulisan ini: kita secara individu sebaiknya memberanikan diri mengubah gaya hidup dan mau ”hidup susah”.... Beranikah?
sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/03040455/merekayasa.atmosfer.hingga.politik.global
0 Comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !